Pemaknaan Relief Karmawibhangga dinding Candi Borobudur– Historollic

Halo semuanya, Historollic hari ini akan membahas mengenai Relief Karmawibhangga yang terdapat di dinding candi megah Jawa Tengah dan merupakan artefak peninggalan zaman kuno di Indonesia yang terkenal hingga kalangan Internasional serta bangunan yang masuk ke dalam tujuh keajaiban Dunia yang dilindungi oleh UNESCO.

Dalam bahasan kali ini kita akan menjelaskan tentang Relief Karmawibhangga yang merupakan visualisasi dari buku Maha Karmawibhangga. For Your Information! penggalian candi ini belum dilakukan sepenuhnya sehingga kemungkinan masih banyak yang terkubur oleh tanah.

Relief Karmawibhangga visualisasi Buku Maha Karmawibhangga

Pada bagian kaki candi Borobudur terdapat relief yang dipahat dalam 160 panel yang menggambarkan rangkaian adegan cerita yang tidak bersambung. Relief tersebut diberi nama Relief Karmawibhangga. Sebagian besar dari pahatan panel relief menceritakan mengenai karma manusia yang diakibatkan oleh perbuatannya semasa hidup. Perbuatan yang dimaksudkan bukan hanya mengenai tingkah laku manusia, namun juga mengenai perkataan dan batin yang belum ditindakannya. Karma dalam agama Buddha diartikan sebagai sesuatu yang melekat pada diri setiap makhluk hidup baik karena dirinya sendiri maupun karena perbuatan leluhurnya. Karma merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai tolak ukur tinggi rendahnya martabat seseorang serta kualitas hidup individu tersebut. Karma sangat dekat dengan kehidupan manusia, oleh karenanya karma yang disebabkan oleh seseorang tentunya akan berimbas kepada hubungan antar manusia disekitanya. Dalam ajaran Buddha dijelaskan bahwa karma adalah salah satu penyebab manusia tidak sampai ke surga atau nirwana (Iswahyudi, 2021: 7).

Kata Karmawibhangga berasal dari bahasa ajaran Buddha yakni kata karma yang berarti akibat dari perbuatan manusia yang menyebabkan tidak mencapai nirwana, sedangkan wibhangga adalah sebutan untuk salah satu kitab suci agama Buddha. Kata Karmawibhangga dalam relief yang terukir di candi Borobudur diambil dari sebutan kitab suci yakni Maha Karmawibhangga, buku ini berisikan pembahasan mengenai karma yang berupa hukum moral berkaitan dengan sebab akibat.

Ikonografi Relief Karmawibhangga

Relief Karmawibhangga ditafsirkan oleh ahli dengan berpegangan kepada kitab Maha Karmawibhangga. Ternyata relief yang terukir tidak sepenuhnya murni dari kitab namun juga ada percampuran tradisi lokal yang mengemas nilai luhur buku suci tersebut. Yang membuat hal seperti itu terjadi karena didukung oleh unsur kejeniusan yang dimiliki oleh warga Mataram Kuno terkhusus dimasa wangsa Syailendra. Kemungkinan penggambaran nilai suci yang bercampur dengan nilai lokal dijadikan sebagai cara untuk memperkenalkan ajaran agama Buddha yang disesuaikan dengan objek sasaran baik dari segi moral hingga kondisi sosial. Dapat disimpulkan bahwa nilai yang terkandung didalam kitab Maha Karmawibhangga telah bercampur serta membaur pada kehidupan sehari-hari masyarakat dan berubah menjadi norma adat.

Lokalisasi nilai luhur kitab Maha Karmawibhangga mengantarkan kita pada tampilan bentuk relief candi Borobudur yang penuturannya menggunakan kondisi masyarakat lokal, meski ceritanya berasal dari India. Unsur Jawa Kuno terlihat sangat melekat pada relief ditujukkan dengan penggambaran karakter yang menunjukkan ciri khas orang Jawa. Karakter yang dimaksudkan adalah karakter baik fisik maupun budaya. Meskipun bukan merupakan suatu adegan cerita yang berkesinambungan, namun pembacaan relief ini dibaca pradaksina atau searah jarum jam, dimulai dari pintu masuk candi di sisi timur hingga ke pintu bagian selatan. Cara membaca relief Karmawibhangga tiap panelnya terdiri dari dua atau tiga bagian, sebelah kiri menunjukkan hasil dari tindakan yang dijelaskan pada bagian kanan hingga tengah. Pada setiap pergantian adegan dibatasi ukiran pohon atau objek tegak

Penafsiran Relief Karmawibhangga


Pada bagian kanan menggambarkan kerumunan orang dengan membawa wuwu yang terbuat dari anyaman bambu, ditafsirkan mereka sedang menangkap ikan di air dangkal yang dilakukan secara bergotong royong. Terlihat juga orang yang sedang membawa wuwu dengan cara djpikul menggunakan tongkat panjang. Menuju ke bagian kiri memperlihatkan gambaran suasana adanya sekelompok seniman yang salah satunya penabuh gendang (mṛdanggaatau mapadahi).

Di sebelah ukiran tersebut tergambar ada seorang seniman yang menutupi kepala dengan kain yang terurai ke bagian belakang. Pada gambar seniman kedua terlihat bahwa tangannya diatur seperti menyanyikan sebuah lagu. Menggambarkan seseorang mangidung atau seorang pelantun tembang (Pradita & Aang, 2020: 66). Panel ini menggambarkan kehidupan penduduk hilirān (nelayan) dan banyaga (pedagang) yang diganggu oleh penjahat Mariwung pada zaman Mataram Kuno, seperti yang dijelaskan dalam Prasasti Kaladi (831 Śaka atau 909 Masehi).

Pada panel sebelah kanan terdapat gambar kijang yang menunjukkan bahwa relief tersebut merepresentasikan pemandangan hutan, disusul dengan gambar orang yang sedang menangkap ikan di perairan dangkal. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi perburuan oleh manusia. Ditengah adalah gambar seorang pemuda dan seorang lelaki tua yang membawa banyak ikan, berarti sifat durhaka kepada orang tua. Di sudut kiri adalah dewa dengan gada, dan di sebelahnya ada gambar manusia yang ditempatkan di atas kwali yang mendidih diatas api. Ditafsirkan mereka ditempatkan hidup-hidup dalam kwali besar dan direbus hidup-hidup dan dihukum oleh dewa yang membawa gada yang siap memukul mereka kapan saja.

Adegan pada gambar diatas memiliki tiga bagian. Di tengahnya terdapat pahatan berupa pembawa tombak yang membidik hewan darat yang berada disebelahnya berupa babi (celeng) dengan menggunakan tombak atau galah bermata besi.  Berdasarkan relief tersebut, terlihat bahwa tombak atau galah pada saat zaman kerajaan tidak hanya digunakan sebagai senjata perang tetapi juga sebagai alat untuk berburu binatang. Penangkapan babi hutan biasanya dilakukan dengan cara berburu menggunakan anak panah, tombak atau penangkap (Nasiti, 1995). Relief tersebut menjelaskan bagaimana pemanfaatan tombak oleh penduduk Mataram Kuno. Dalam panel menjelaskan gaya berpakaian masyarakat Mataram Kuno, yang ditunjukkan dengan penggunaan celana panjang tanpa baju. Tampak ditengah, ada dua orang yang menggunakan celana dan tidak berbaju, bahkan wanita dalam ukiran tersebut tampak tanpa busana karena terukir bentuk payudara.

Adegan dalam gambar menunjukkan perburuan yang dilakukan di dua habitat sekaligus. Pojok kiri menunjukkan perburuan yang dilakukan di perairan dangkal menggunakan wuwu. Sedangkan di tengah terdapat pemandangan yang menunjukkan beberapa orang di ladang, membawa panahan dan batu yang digunakan untuk menangkap burung. Panahan digunakan untuk membidik dan menembak target yang jauh dan gesit. Kemudian, jika target terkena panah maka akan dilimpuhkan menggunakan batu (Pradita & Aang, 2020: 66).

Sumber & Referensi

Iswahyudi, I. (2021). Metal Craft Studio Development: An Idea to Prepare a Teaching Factory Education Concept Model in the Craft Education Study Program, Yogyakarta State University. Randwick International of Education and Linguistics Science Journal, 2(3), 339-357. DOI: https://doi.org/10.47175/rielsj.v2i3.302


Nastiti, T.  1995. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi, Thesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)


Pradita, D., & Nugroho, A. (2020). Relief Candi Borobudur, prasasti, dan berita asing: visualisasi perburuan masa Mataram kuno. Jurnal Sejarah3(2).


Penulis: Yolanda Riski

Posting Komentar

0 Komentar